Wahana Visi Indonesia:
Mewujudkan Mimpi Anak-anak Bangsa
Oleh: Chriswan
Sungkono
Setiap anak hidup utuh
sepenuhnya (Yohanes 10:10b) dan setiap hati punya tekad untuk mewujudkannya.
Sepenggal kalimat itu adalah gol utama Wahana Visi Indonesia. Sejauh mana
kiprah mereka, dan apa yang bisa kita bantu?
Baru saja menamatkan SMP, Rasti (nama sengaja disamarkan) tak membayangkan
apa-apa ketika ia melintas perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia Timur untuk
bekerja. Yang ada di otaknya hanyalah harapan bahwa dengan begini, ia bisa
membantu ayah ibunya menafkahi keluarga. Tak mampu berbuat banyak, di Kuching
ia menjadi pembantu rumah tangga.
Ia tak menyangka, harapan
dengan kenyataan ternyata bisa berseberangan. Yang ia dapatkan disana bukannya
honor yang layak, melainkan siksaan dan kepahitan. Setelah berpindah-pindah
majikan, majikannya yang terakhir malah memperkosanya. Sadar bahwa dirinya
hamil, Rasti lari. Pulang. Usianya baru saja 16 tahun.
Lewat serangkaian pengalaman
yang nyaris bagaikan keajaiban, Rasti kini kembali bersekolah di sebuah SMU di
Singkawang. Bayi laki-lakinya ia relakan untuk diadopsi keluarga lain yang
lebih mampu. Rasti mau belajar banyak hal agar bisa hidup lebih baik, dan
dengan program anak asuh dari Wahana Visi Indonesia, ia bisa tersenyum:
mimpinya mulai membentuk kenyataan.
Banyak sekali anak-anak yang
perlu bantuan seperti Rasti. Tersebar di banyak daerah, hanya sedikit dari
mereka yang terlayani, hanya karena tak ada yayasan lokal yang bisa menolong. Saat
itu, di tahun 1996 ekonomi Indonesia cukup baik tapi donor masih banyak yang
dari luar negeri. Sementara di Indonesia banyak orang berkecukupan yang rindu untuk
mengulurkan bantuannya, hanya saja tak tahu kemana dananya harus didonorkan.
Kedua alasan tersebut
mendasari berdirinya Yayasan World Vision Indonesia pada tahun 1996. Lalu pada
tahun 1998, dibentuklah Yayasan Wahana Visi Indonesia yang benar-benar lepas
secara legal dari World Vision, namun tetap menjadi mitra utamanya. Sejak itu, dua
kegiatan besar WVI adalah beroperasi di lapangan sekaligus mengembangkan segala
potensi sumber daya dalam negeri.
Pionirnya area
development
Sejak gebrakan itu, WVI
menggiatkan dirinya pada pembangunan area (area
development). Pengembangan ini tak hanya berbasis desa-ke-desa, tetapi mencakup
seluruh kabupaten. Biasanya, pihak WVI memilih tiga kecamatan untuk dibina
intens. Suatu program pembangunan area direncanakan untuk berlangsung selama 15
tahun.
Karena harus akuntabel kepada
donor, dan lagi banyak sumber daya yang akan fatal jika tidak ditangani
langsung, WVI melakukan program pembangunan area ini tanpa diwakili pihak lain.
Dengan begitu, pola kemitraan WVI dengan yayasan-yayasan lokal berubah. Tadinya
sebagai penyalur dana, WVI kini turut campur tangan dalam kehidupan masyarakat
lokal, otomatis menjadi mitra bagi LSM-LSM lokal (misalnya LSM kesehatan dan
pendidikan).
Wahana Visi tidak menerapkan
program yang seragam di semua area yang mereka kembangkan. “Gerakan kami selalu
dimulai dari masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Sebelum merancang
program, ada persiapan sosial yang makan waktu dua tahun. Bentuknya seperti
pelatihan masyarakat sekaligus pengenalan WVI kepada mereka, termasuk membantu
menemukan akar masalah yang mereka hadapi,” papar Eddy Sianipar, General
Manager Yayasan WVI ketika diwawancarai getLIFE!.
Ia kemudian meneruskan, “Tak
cuma itu, kami juga harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat, pemerintah
setempat, dan pemimpin-pemimpin agama. Kami mengajak mereka untuk menangani masalah,
dimulai dari menyusun visi dan misi bersama, hingga teknis pelaksanaannya.”
Program jangka panjang yang
besar itu lalu dipilah-pilah bersama menjadi gol-gol jangka pendek. “Dan, karena
anak-anak adalah fokus utama WVI, kami selalu memastikan bahwa setiap program
yang dijalankan ini bermanfaat langsung pada kehidupan anak-anak daerah itu.”
Solusinya harus holistik dan realistis
Untuk semua bidang
permasalahan yang dihadapi penduduk setempat (terutama kaum anak), menurut Eddy
solusinya tidak saja unik, tapi juga harus holistik. Untuk masalah pendidikan,
misalnya, WVI tak hanya membantu penyediaan baju seragam dan buku-buku sekolah,
tetapi juga melakukan pelatihan guru, menerapkan metode mengajar yang tepat, mengurus
ketertiban kurikulum, sampai membayar uang sekolah anak-anak.
Isu kesehatan anak sudah
tentu terdaftar dalam fokus utama WVI. Tiap-tiap daerah yang sedang
dikembangkan pasti punya kesulitan berbeda: pengentasan kemiskinan yang parah, kelangkaan
air bersih, rendahnya asupan gizi, epidemi penyakit, terhambatnya program
imunisasi, dan masih banyak lagi. WVI aktif mengajak berbagai pihak setempat
mengatasi setiap kendala ini.
Realistis. Itulah ciri yang
cocok menggambarkan setiap program WVI. “Jika kami mau meningkatkan kesehatan
anak, kami harus tahu dulu, bagaimana sih
anak itu bisa dikatakan ‘sehat’ di penghujung program? Tidak ada lagi epidemi
diare, tidak ada lagi yang busung lapar, misalnya. Kami selalu menyusun
standar-standar yang dimonitor dan dievaluasi terus-menerus selama lima belas
tahun oleh tim lapangan.”
Pusat-pusat pengembangan
Hingga penghujung tahun 2005,
WVI telah merintis 29 pusat pengembangan area: sembilan di Papua, tujuh di Nusa
Tenggara Timur, dua di Sulawesi, lima di Jakarta, dua di Surabaya, dan empat di
Kalimantan Barat. ADP yang paling awal ada di Kepulauan Banggai, Sulawesi
Tengah. Usianya kini menginjak 10 tahun.
“Lima tahun lagi, ketika ADP
usai, penduduk Banggai akan sudah mandiri. Kami lalu akan menyerahkan tugas-tugas
kemasyarakatan selanjutnya pada LSM-LSM lokal,” ujar Eddy, seraya
memperlihatkan peta Indonesia dengan titik-titik yang menunjukkan lokasi-lokasi
ADP-nya. Seperti itulah nantinya masa depan semua daerah yang sedang
dikembangkan WVI.
WVI mempekerjakan sekitar
empat ratus orang di seluruh lahan operasionalnya, meliputi community development coordinator,
petugas finansial, fasilitator, dll. Masing-masing petugas bertanggung jawab
secara hierarkis, dan di ujungnya, koordinator tiap area rutin melaporkan
setiap pertumbuhan dan masalah baru pada Program
Officer (tiap-tiap wilayah), terpusat di Jakarta.
Tiga ADP: di Kota Merauke,
pedalaman Merauke, dan Singkawang, sepenuhnya disokong donor lokal. Sementara
26 ADP sisanya masih harus mengandalkan pendanaan donor internasional (dari Kanada,
AS, Jerman, Jepang, dan Hong Kong). “Kami ingin jumlah ADP yang bisa sepenuhnya
didanai donor lokal bertambah,” harap Eddy.
Program Anak Asuh jadi andalan
Tersebar di 29 ADP itu, tak
kurang ada 65 ribu anak asuh yang disantuni WVI. Program Anak Asuh inilah yang
menjadi ujung tombak pelayanan WVI. Otomatis, dana WVI yang totalnya mencapai
jutaan dolar pun paling banyak diserap disini.
Namun, tidak sepeserpun anak-anak
ini terima secara cash. Semuanya
‘dicairkan’ dalam program-program pengembangan komunitas, perbaikan hidup, dan
pendidikan. Namun, jumlah anak asuh yang disokong donor lokal ternyata masih
sedikit: hanya sekitar tiga ribuan. “Orang Indonesia tidak biasa menjadi
penyumbang jangka panjang,” keluh Eddy.
John Nelwan,
Marketing Manager WVI, turut
mengiyakan. “Mereka hanya mau menyumbang sesekali saja saat presentasi kami
berhasil mengharukan mereka. Padahal kami berharap orang Indonesia bisa
berperan lebih banyak dalam program penyantunan anak yang rutin, yang
sebenarnya menjadi konsentrasi pokok ADP,” sahut John.
Bagaimanapun, uang bukanlah
segalanya. Menurut John, para donor diharapkan tidak hanya sekedar mendukung
dana, tetapi bisa membantu lebih jauh: masalah anak asuh satu demi satu harus
bisa mereka pahami pula. Buat WVI, motivasi yang lebih dalam adalah menghubungkan
anak asuh dengan donaturnya, salah satunya dengan laporan perkembangan anak
tahunan.
“Kami mau menekankan aspek
antarmanusia, bukan sekedar tindakan memberi uangnya itu. Dengan adanya
laporan, sponsor jadi mengenali kesulitan anak, keluarga, dan masyarakatnya,
sehingga sadar bahwa mereka memang benar-benar membutuhkan bantuan, dan semua
kontribusi itu berguna,” ujar John.
Hingga kini, jumlah anak-anak
Indonesia yang masih terbelenggu rantai kemiskinan tak berujung ada puluhan
ribu. Apakah masa depan mereka nantinya akan suram, atau gemilang, sebagian
tergantung kemurahan hati kita. Adakah secercah sukacita buat mereka, dari
kita?** (CS)
Ingin Membuat Mereka Tersenyum?
Anda yang tergerak (semoga
tidak hanya kali ini saja) untuk menghadirkan segaris senyum di wajah satu,
dua, atau sepuluh anak asuh, atau ingin terlibat langsung memberikan tenaga bagi pelayanan WVI, silakan hubungi:
Wahana Visi Indonesia
HOS. Cokroaminoto 1
Jakarta Pusat 10350
(021) 3193-0244
idn_donor_relation@wvi.org