MamaOla

Wednesday, November 30, 2011

Wahana Visi Indonesia: Mewujudkan Mimpi Anak-anak Bangsa


Wahana Visi Indonesia: Mewujudkan Mimpi Anak-anak Bangsa

Oleh: Chriswan Sungkono


Setiap anak hidup utuh sepenuhnya (Yohanes 10:10b) dan setiap hati punya tekad untuk mewujudkannya. Sepenggal kalimat itu adalah gol utama Wahana Visi Indonesia. Sejauh mana kiprah mereka, dan apa yang bisa kita bantu?


Baru saja menamatkan SMP, Rasti (nama sengaja disamarkan) tak membayangkan apa-apa ketika ia melintas perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia Timur untuk bekerja. Yang ada di otaknya hanyalah harapan bahwa dengan begini, ia bisa membantu ayah ibunya menafkahi keluarga. Tak mampu berbuat banyak, di Kuching ia menjadi pembantu rumah tangga.

Ia tak menyangka, harapan dengan kenyataan ternyata bisa berseberangan. Yang ia dapatkan disana bukannya honor yang layak, melainkan siksaan dan kepahitan. Setelah berpindah-pindah majikan, majikannya yang terakhir malah memperkosanya. Sadar bahwa dirinya hamil, Rasti lari. Pulang. Usianya baru saja 16 tahun.

Lewat serangkaian pengalaman yang nyaris bagaikan keajaiban, Rasti kini kembali bersekolah di sebuah SMU di Singkawang. Bayi laki-lakinya ia relakan untuk diadopsi keluarga lain yang lebih mampu. Rasti mau belajar banyak hal agar bisa hidup lebih baik, dan dengan program anak asuh dari Wahana Visi Indonesia, ia bisa tersenyum: mimpinya mulai membentuk kenyataan.

Banyak sekali anak-anak yang perlu bantuan seperti Rasti. Tersebar di banyak daerah, hanya sedikit dari mereka yang terlayani, hanya karena tak ada yayasan lokal yang bisa menolong. Saat itu, di tahun 1996 ekonomi Indonesia cukup baik tapi donor masih banyak yang dari luar negeri. Sementara di Indonesia banyak orang berkecukupan yang rindu untuk mengulurkan bantuannya, hanya saja tak tahu kemana dananya harus didonorkan.

Kedua alasan tersebut mendasari berdirinya Yayasan World Vision Indonesia pada tahun 1996. Lalu pada tahun 1998, dibentuklah Yayasan Wahana Visi Indonesia yang benar-benar lepas secara legal dari World Vision, namun tetap menjadi mitra utamanya. Sejak itu, dua kegiatan besar WVI adalah beroperasi di lapangan sekaligus mengembangkan segala potensi sumber daya dalam negeri.

Pionirnya area development
Sejak gebrakan itu, WVI menggiatkan dirinya pada pembangunan area (area development). Pengembangan ini tak hanya berbasis desa-ke-desa, tetapi mencakup seluruh kabupaten. Biasanya, pihak WVI memilih tiga kecamatan untuk dibina intens. Suatu program pembangunan area direncanakan untuk berlangsung selama 15 tahun.

Karena harus akuntabel kepada donor, dan lagi banyak sumber daya yang akan fatal jika tidak ditangani langsung, WVI melakukan program pembangunan area ini tanpa diwakili pihak lain. Dengan begitu, pola kemitraan WVI dengan yayasan-yayasan lokal berubah. Tadinya sebagai penyalur dana, WVI kini turut campur tangan dalam kehidupan masyarakat lokal, otomatis menjadi mitra bagi LSM-LSM lokal (misalnya LSM kesehatan dan pendidikan).

Wahana Visi tidak menerapkan program yang seragam di semua area yang mereka kembangkan. “Gerakan kami selalu dimulai dari masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Sebelum merancang program, ada persiapan sosial yang makan waktu dua tahun. Bentuknya seperti pelatihan masyarakat sekaligus pengenalan WVI kepada mereka, termasuk membantu menemukan akar masalah yang mereka hadapi,” papar Eddy Sianipar, General Manager Yayasan WVI ketika diwawancarai getLIFE!.

Ia kemudian meneruskan, “Tak cuma itu, kami juga harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat, pemerintah setempat, dan pemimpin-pemimpin agama. Kami mengajak mereka untuk menangani masalah, dimulai dari menyusun visi dan misi bersama, hingga teknis pelaksanaannya.”

Program jangka panjang yang besar itu lalu dipilah-pilah bersama menjadi gol-gol jangka pendek. “Dan, karena anak-anak adalah fokus utama WVI, kami selalu memastikan bahwa setiap program yang dijalankan ini bermanfaat langsung pada kehidupan anak-anak daerah itu.”

Solusinya harus holistik dan realistis
Untuk semua bidang permasalahan yang dihadapi penduduk setempat (terutama kaum anak), menurut Eddy solusinya tidak saja unik, tapi juga harus holistik. Untuk masalah pendidikan, misalnya, WVI tak hanya membantu penyediaan baju seragam dan buku-buku sekolah, tetapi juga melakukan pelatihan guru, menerapkan metode mengajar yang tepat, mengurus ketertiban kurikulum, sampai membayar uang sekolah anak-anak.

Isu kesehatan anak sudah tentu terdaftar dalam fokus utama WVI. Tiap-tiap daerah yang sedang dikembangkan pasti punya kesulitan berbeda: pengentasan kemiskinan yang parah, kelangkaan air bersih, rendahnya asupan gizi, epidemi penyakit, terhambatnya program imunisasi, dan masih banyak lagi. WVI aktif mengajak berbagai pihak setempat mengatasi setiap kendala ini.

Realistis. Itulah ciri yang cocok menggambarkan setiap program WVI. “Jika kami mau meningkatkan kesehatan anak, kami harus tahu dulu, bagaimana sih anak itu bisa dikatakan ‘sehat’ di penghujung program? Tidak ada lagi epidemi diare, tidak ada lagi yang busung lapar, misalnya. Kami selalu menyusun standar-standar yang dimonitor dan dievaluasi terus-menerus selama lima belas tahun oleh tim lapangan.”

Pusat-pusat pengembangan
Hingga penghujung tahun 2005, WVI telah merintis 29 pusat pengembangan area: sembilan di Papua, tujuh di Nusa Tenggara Timur, dua di Sulawesi, lima di Jakarta, dua di Surabaya, dan empat di Kalimantan Barat. ADP yang paling awal ada di Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Usianya kini menginjak 10 tahun.

“Lima tahun lagi, ketika ADP usai, penduduk Banggai akan sudah mandiri. Kami lalu akan menyerahkan tugas-tugas kemasyarakatan selanjutnya pada LSM-LSM lokal,” ujar Eddy, seraya memperlihatkan peta Indonesia dengan titik-titik yang menunjukkan lokasi-lokasi ADP-nya. Seperti itulah nantinya masa depan semua daerah yang sedang dikembangkan WVI.

WVI mempekerjakan sekitar empat ratus orang di seluruh lahan operasionalnya, meliputi community development coordinator, petugas finansial, fasilitator, dll. Masing-masing petugas bertanggung jawab secara hierarkis, dan di ujungnya, koordinator tiap area rutin melaporkan setiap pertumbuhan dan masalah baru pada Program Officer (tiap-tiap wilayah), terpusat di Jakarta.

Tiga ADP: di Kota Merauke, pedalaman Merauke, dan Singkawang, sepenuhnya disokong donor lokal. Sementara 26 ADP sisanya masih harus mengandalkan pendanaan donor internasional (dari Kanada, AS, Jerman, Jepang, dan Hong Kong). “Kami ingin jumlah ADP yang bisa sepenuhnya didanai donor lokal bertambah,” harap Eddy.

Program Anak Asuh jadi andalan
Tersebar di 29 ADP itu, tak kurang ada 65 ribu anak asuh yang disantuni WVI. Program Anak Asuh inilah yang menjadi ujung tombak pelayanan WVI. Otomatis, dana WVI yang totalnya mencapai jutaan dolar pun paling banyak diserap disini.

Namun, tidak sepeserpun anak-anak ini terima secara cash. Semuanya ‘dicairkan’ dalam program-program pengembangan komunitas, perbaikan hidup, dan pendidikan. Namun, jumlah anak asuh yang disokong donor lokal ternyata masih sedikit: hanya sekitar tiga ribuan. “Orang Indonesia tidak biasa menjadi penyumbang jangka panjang,” keluh Eddy.

John Nelwan, Marketing Manager WVI, turut mengiyakan. “Mereka hanya mau menyumbang sesekali saja saat presentasi kami berhasil mengharukan mereka. Padahal kami berharap orang Indonesia bisa berperan lebih banyak dalam program penyantunan anak yang rutin, yang sebenarnya menjadi konsentrasi pokok ADP,” sahut John.

Bagaimanapun, uang bukanlah segalanya. Menurut John, para donor diharapkan tidak hanya sekedar mendukung dana, tetapi bisa membantu lebih jauh: masalah anak asuh satu demi satu harus bisa mereka pahami pula. Buat WVI, motivasi yang lebih dalam adalah menghubungkan anak asuh dengan donaturnya, salah satunya dengan laporan perkembangan anak tahunan.

“Kami mau menekankan aspek antarmanusia, bukan sekedar tindakan memberi uangnya itu. Dengan adanya laporan, sponsor jadi mengenali kesulitan anak, keluarga, dan masyarakatnya, sehingga sadar bahwa mereka memang benar-benar membutuhkan bantuan, dan semua kontribusi itu berguna,” ujar John.

Hingga kini, jumlah anak-anak Indonesia yang masih terbelenggu rantai kemiskinan tak berujung ada puluhan ribu. Apakah masa depan mereka nantinya akan suram, atau gemilang, sebagian tergantung kemurahan hati kita. Adakah secercah sukacita buat mereka, dari kita?** (CS)


Ingin Membuat Mereka Tersenyum?
Anda yang tergerak (semoga tidak hanya kali ini saja) untuk menghadirkan segaris senyum di wajah satu, dua, atau sepuluh anak asuh, atau ingin terlibat langsung memberikan tenaga bagi pelayanan WVI, silakan hubungi:
Wahana Visi Indonesia
HOS. Cokroaminoto 1
Jakarta Pusat 10350
(021) 3193-0244
idn_donor_relation@wvi.org

Tuesday, November 29, 2011

Sehari Membaca Buku-Buku Lajang


Sehari Membaca Buku-Buku Lajang

Oleh: Sandra Lilyana

[deck]
Tiga buah buku, secangkir cokelat panas, segelas blueberry tea, dan masa lajang yang menyenangkan.

“Kita ingin rubrik buku yang lain dari biasa untuk edisi lajang,” pesan editor-in-chief getLIFE! saat rapat redaksi terakhir di kantor. “Yang personal, yang menarik, mungkin cerita pengalamanmu sebagai lajang ketika menerapkan apa yang dikatakan buku-buku.”

Saya langsung mencari di koleksi perpustakaan getLIFE! dan ternyata hanya ada satu buku yang khusus membahas topik single berjudul Single, Sassy & Satisfied karangan Michelle McKinney Hammond. Kelihatannya ini berarti saya harus berburu ke toko buku.

Jadilah pada satu Selasa di awal November saya sengaja menyisihkan satu hari khusus untuk mencari, membaca, dan menulis ulasan mengenai buku-buku lajang ini. Sejak mall dibuka jam sepuluh, saya sudah ada di sebuah toko buku rohani yang cukup besar di lantai atas. Toko buku ini punya rak-rak khusus “keluarga”, “gereja”, “kepemimpinan”, dan banyak lagi tapi di rak mana saya harus mencari buku-buku lajang. Setelah celingak-celinguk ke sana kemari, seorang laki-laki mendekati saya dan bertanya, “Bisa saya bantu, Mbak?” Saya bilang saya mencari buku yang khusus membahas masalah single. Petugas toko buku itu menggeleng, “Setahu saya kami tidak punya.” Mereka punya satu rak buku-buku tentang pernikahan, percintaan, hubungan, dan keluarga tapi tidak punya satu pun tentang single! Rasanya saya mulai mencium bau diskriminasi di sini.

“Ya sudah, terimakasih,” kata saya sambil bersiap-siap pergi ke toko buku lain di sebelah tapi  laki-laki itu mendadak berkata, “Mungkin Mbak bisa memberi tahu saya mengapa Mbak mencari buku seperti itu?” Saya sampai terdiam sejenak memikirkan apa yang harus saya jawab. “Ehm, saya sedang menulis tentang lajang,” jawab saya sambil menimbang-nimbang apa tidak sebaiknya saya pergi saja meninggalkan petugas yang usil itu. Tapi saya memutuskan untuk memberikannya “the benefit of the doubt”. Mungkin dia beritikad baik, mungkin dia memang selalu bertanya seperti itu pada siapa pun yang mencari buku apa pun. “Oh, saya pikir Mbak sedang ada problem soal itu,” kata petugas itu yang kemudian diikuti curhat mengenai adik perempuannya yang berumur hampir tiga puluh tahun tapi menolak menikah karena pernah disakiti laki-laki. “Oh, begitu,” kata saya yang tiba-tiba merasa perlu membela diri di depan orang yang tidak dikenal ini, “tapi saya, sih, sama sekali tidak punya masalah seperti adik Anda.” 

Saya meringis dalam hati dan cepat-cepat pamit. Astaga, baru mencari buku saja, saya sudah langsung dicurigai seperti itu. Saya masuk ke toko buku di sebelah dan setelah berjuang keras (sendiri, karena saya tiba-tiba jadi malas bertanya pada petugas toko buku), akhirnya saya menemukan dua buku Kristen tentang lajang di antara ribuan buku di sana. Yang satu dengan judul provokatif: Haruskah Aku Melajang? karangan Kathleen Hardaway. Yang satu lagi dari Seri Dinamika Iman berjudul Hidup Melajang karangan David Egner.

Dengan menenteng kantong plastik berisi dua buku baru dan satu buku properti getLIFE! di dalam tas, saya turun ke café di lantai dasar. Karena masih pagi, sofa kesayangan saya di pojok café dekat jendela masih kosong. Excellent! Saya memesan hot chocolate ukuran jumbo lalu duduk di sana dan mengeluarkan buku-buku saya. Lalu tiba-tiba saja saya sadar betapa mencoloknya sampul dan judul buku Haruskah Aku Melajang? yang berwarna kuning terang dengan gambar perempuan bermain ayunan itu. Ketika seorang pelayan café berjalan melewati meja saya, otomatis saya langsung membalik buku itu supaya ia tidak bisa melihat cover-nya. Entah mengapa rasanya memalukan. Apa yang akan dipikirkan pelayan itu jika ia melihat saya membaca buku ini? Apakah ia akan otomatis berpikiran sama seperti petugas toko buku barusan bahwa saya adalah perempuan yang memutuskan melajang karena pernah mengalami kepahitan dengan laki-laki? Saya tiba-tiba merasa perlu menghabiskan setengah hot chocolate saya sebelum mulai membaca.

Buku pertama yang saya pilih adalah Hidup Melajang karena itu yang paling tipis di antara ketiga buku di meja saya. Ini sindrom anak kuliah yang tak kunjung hilang. Lebih tipis, lebih bagus. Tidak perlu waktu terlalu lama untuk menyelesaikannya karena hanya 48 halaman tapi isinya memang bagus. Egner menulis dengan penuh empati dan menyoroti mitos-mitos yang salah tentang lajang (bahwa mereka egois, boros, kesepian, dan sebagainya) yang telanjur beredar luas di masyarakat. Saya pikir buku ini bagus sekali jika dibaca juga oleh mereka yang sudah menikah karena akan memberikan perspektif baru tentang “dunia yang [sering] disalahpahami” ini. Selain mengupas mitos, Egner juga memberikan solusi Alkitabiah bagi para lajang untuk menghadapi tantangan hidup. Buku mungil ini ditutup dengan bahasan pendek mengenai Yesus sebagai sahabat kaum lajang “yang tidak akan pernah meninggalkan atau mengkhianati Anda”. Saya suka buku ini.

Dua buku lain nadanya lebih personal dan emosional. Mungkin karena ditulis khusus untuk para lajang perempuan. Ini juga gejala yang menarik karena saya sama sekali tidak menemukan buku yang khusus membahas lajang laki-laki. Apakah ini berarti ada lebih banyak perempuan lajang dibandingkan laki-laki? Atau perempuan lajang punya masalah lebih banyak dibandingkan laki-laki? Atau perempuan lajang dianggap lebih marketable bagi penerbit buku? Bisa jadi perpaduan ketiganya. Tapi sekarang sudah waktunya makan siang. Saya kembali ke counter dan memesan chicken sandwich.

Agak aneh makan sendirian di café. Orang lain hampir semuanya datang dengan partner atau teman-teman mereka. Tapi sandwich-nya memang enak. Setelah menghabiskan semuanya sendiri dan merasa puas, saya memesan segelas blueberry tea dingin dan siap melanjutkan agenda saya. Baiklah, sekarang saya akan mulai membaca buku kuning Kathleen Hardaway.

Buku ini mengharukan karena penulisnya yang tetap single di usia empat puluh lebih menceritakan dengan jujur segala pergumulannya menghadapi masa lajang, bagaimana ia bertanya pada Tuhan, menangis, dan patah hati. Tapi ini jauh dari sekadar buku yang penuh keluh kesah. Sebaliknya buku ini justru sangat inspiratif karena Hardaway juga menceritakan pemulihan yang dialaminya dalam Tuhan dan sukacita kemudian datang dalam kehidupannya sekarang. Buku ini ditutup dengan bab tentang Yesus sebagai pangeran sejati yang ditunggu-tunggu.

Buku Sassy, Single & Satisfied sengaja saya baca terakhir. Save the Best for Last. Konon inilah buku yang mengilhami tujuh perempuan lajang untuk berpetualang ke gunung Halimun (baca Life!Horizon edisi ini - red). Saya suka sub judulnya: Rahasia Untuk Mencintai Kehidupan Anda. Isi bukunya adalah esai-esai pendek tentang renungan kehidupan, cinta dan lelaki. Enak dibaca, ringan, tapi mencerahkan. Penutupnya adalah 15 rahasia sukacita yang digali dari Alkitab dan kesimpulan Hammond bahwa kunci kebahagiaan bukanlah laki-laki, bukan pula diri kita sendiri tapi tunangan kita, Yesus yang sedang mempersiapkan pernikahan surgawi.

Selesai membaca buku yang ketiga, di luar sudah hampir gelap. Blueberry tea yang tadinya manis sudah tak berasa lagi karena bercampur es. Saya meluruskan badan dan menguap. HP saya berbunyi. Ada SMS masuk. Dari teman-teman saya. “Kamu masih di café? Kita jemput sekalian makan malam, ya.” Saya membalas dengan iseng: “Aduh, maaf saya harus pulang dan masak untuk suami dan anak” Kalau bukan single, pasti itulah yang harus saya lakukan seharian ini. Tidak akan ada cerita nongkrong di café, seharian membaca buku-buku yang menambah wawasan dan mencerahkan hati, makan malam ramai-ramai, dan pulang ke rumah sesuka hati. Terimakasih Tuhan untuk hari yang diberkati ini, kata saya dalam hati. Ah, menjadi lajang memang menyenangkan.**(SL)

Monday, November 28, 2011

Masih Tinggalkah Tuhan di Paris?


Masih Tinggalkah Tuhan di Paris?

Oleh: Karin Andini


Paris. Kota sejuta objek wisatayang identik dengan seni dan romantisme. Bangunan gerejanya memukau mata. Tapi masih tinggalkah Tuhan di dalamnya?


Perancis dikenal sebagai negerinya peziarah umat Katolik; mungkin hanya kalah oleh Israel dan Vatikan. Sebutlah Taizé, komunitas doa interdenominasi, antar-agama, khususnya bagi Katolik Roma, Orthodox dan Protestan, yang dipelopori almarhum Bruder Roger pada tahun 1940. Nama komunitas doa ini diambil dari nama desa kecil di Perancis. Komunitas Taizé merupakan salah satu komunitas yang berkonsiliasi demi persatuan umat Kristen dan masyarakat dunia yang terpecah belah. Doa-doa dalam komunitas Taizé dilantunkan dalam lagu-lagu pendek yang dinyanyikan berulang-ulang dalam suasana hening dan hanya diterangi cahaya lilin. Di suasana seperti ini, doa dalam bait-bait lagu tersebut meresap jauh ke dalam hati kita.

Lalu siapa yang tidak kenal Lourdes, desa kecil yang menjadi pusat doa dan ziarah sepanjang siang dan malam, karena disitu konon Bunda Maria pernah menampakkan diri pada Santa Bernadette? Lourdes terkenal karena air suci di The Grotto of Massabielle (gua tempat penampakan Bunda Maria) telah membuat banyak mukjizat kesembuhan bagi orang-orang sakit dan cacat. Tongkat-tongkat yang digantung di dalam grotto menjadi tanda bukti orang-orang cacat yang mengalami ‘sentuhan tangan Tuhan’ setelah berdoa, membasuh diri, atau minum air suci Lourdes. Aku cukup beruntung mendapat kesempatan menyanyikan lagu-lagu pujian bersama beberapa peziarah dari negara lain saat perayaan yang dihadiri ribuan orang di depan The Rosary Basilica. Suasana syahdu melanda saat bait refrain Ave Maria dinyanyikan dalam berbagai bahasa berbeda dalam satu rangkaian nada yang sama; lagu sederhana yang mengalun demikian indahnya.

Gereja, relik kuno yang perlahan dimuseumkan?
Menurutku, Kota Paris itu bak magnet yang tak pernah kehabisan daya tariknya. Baik itu yang romantis, historis, religius, maupun kombinasi ketiganya, selalu saja ada objek wisata yang belum kita kunjungi, betapapun bersemangatnya kita berwisata. Tapi kota yang dijuluki City of Light ini sesungguhnya hanya menyumbang sepercik bagi khazanah budaya religius Perancis.

Paris sebagai kota terbesar di Perancis sarat dengan bangunan gereja abad-abad pertengahan yang masih berdiri megah dan terawat baik. Katedral Notre Dame, misalnya, yang terkenal lantaran dijadikan setting roman The Hunchback of Notre Dame karya novelis besar Victor Hugo (kemudian dikartunisasi oleh Disney). Tak henti-hentinya turis berdatangan untuk foto-foto di katedral ini. Belum lagi katedral yang sangat cantik di atas bukit Montmartre, Sacre Coeur atau Gereja Hati Suci. Dari balik kubah gereja ini, pemandangan kota Paris terhampar di depan mata. Selain oleh para turis, pelataran gereja-gereja ini dipenuhi oleh para pedagang souvenir.

Sayangnya, semua kehebohan itu tidaklah dibarengi dengan kegiatan bergereja umat Kristiani setempat. Misa atau kebaktian mingguan hanyalah setitik terang yang tak berdampak banyak. Dua gereja Protestan, L'Association Evangélique d'Eglises Baptistes de Langue Française (Asosiasi Gereja-gereja Baptis Injili Berbahasa Perancis) dan La Fédération des Eglises Evangéliques Baptistes (Federasi Gereja-gereja Baptis Injili) menunjukkan pertumbuhan pelan dari segi jumlah jemaatnya, kendati sebagian besarnya justru kaum imigran (Haiti, Karibia, Ukraina, Jepang, China) yang datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian dan bukan bertamasya.

Spiritualitas Kristiani di kota-kota besar Perancis terasa sangat berseberangan dengan di Lourdes dan Taizé. Kedua desa ziarah ini tak henti-hentinya dikunjungi peziarah dengan semangat spiritualitas yang tinggi untuk melihat, merasakan, dan berdoa secara langsung dengan para peziarah dari negara lain. Hebatnya, di tempat-tempat ini, kendati tak saling mengenal, mereka semua bisa menghadap Tuhan dengan begitu khusyuk; ini sangatlah mengharukan.

Sebaliknya, gereja-gereja di Paris dan kota-kota besar lainnya sudah tak lebih dari sekedar bangunan kuno tempat wisata yang patut dilestarikan dan diabadikan dengan kamera modern. Suasana doa dalam gereja manapun di kota Paris selalu terganggu oleh bunyi langkah-langkah kaki turis dan bunyi “klik” jepretan kamera. Bahkan di kota kecil seperti Montpellier, kebiasaan mengikuti misa atau kebaktian di gereja sudah kian pudar, terutama di kalangan muda.

Satu kali Monsieur Gay, host kami yang baik hati, mengajak kami mengikuti misa dalam bahasa Perancis. Ini pengalaman yang pertama bagi kami. Tidak seperti gereja-gereja di Indonesia, pengunjungnya bisa dihitung dengan dua pasang tangan, dan mayoritasnya kaum lanjut usia. Melihat kami, tiga remaja Asia yang masih muda mengikuti misa, sang pastur pun terlihat girang, menatap kami seolah tak percaya. Begitu herannya sampai ketika “salam damai” berlangsung, ia menghampiri kami dan bercengkrama sebentar.

Sehabis misa, sang pastur kembali menghampiri, berterima kasih pada Monsieur Gay karena telah mengajak kami menghadiri misa. Ia bahkan memperkenalkan kami dengan jemaat yang menyambut kami dengan ramah. Mereka semua tertegun karena kami, dan kami juga tertegun: akan jadi apa nanti jika generasi muda sudah tidak bergereja lagi?

Namun, di tengah ketidakpopulerannya gereja sebagai tempat beribadah tidak lantas membuat keajaiban Tuhan urung terjadi. Di Paris, sebuah pengalaman pribadi membuatku semakin menyadari keajaiban karunia Tuhan, dan bersyukur karena aku memiliki-Nya.

Yang ini selatan, yang itu barat!
Kami merasa beruntung karena berada di Paris saat hari peringatan Revolusi Perancis, 14 Juli, biasa disebut Le Quatorze Juillet. Malam sehari sebelumnya Paris benar-benar ‘meledak’. Di banyak tempat diadakan pertunjukan kembang api (feu d’artifice), yang terbesarnya tentu saja di sekitar Menara Eiffel. Tak ingin kesempatan langka ini lepas begitu saja, kami rela berdesak-desakan dengan ribuan warga dan turis lainnya untuk menyaksikan kemeriahan ini.

Lima belas menit lepas dini hari, meledaklah kembang api pertama di langit Paris yang gulita. Mulainya memang malam sekali, karena di musim panas seperti ini, cahaya matahari baru sempurna hilang setelah jam sebelas malam. Namun percikan api cantik itu jelas membuat keletihan kami sirna. Kami terbuai cukup lama, sampai-sampai kami lupa: kereta RER (Réseau Express Régionale) yang bisa membawa kami pulang terakhir berangkat jam satu subuh!

Kami hanya sempat menaiki métro terakhir yang tujuannya stasiun Montparnasse. Harapan bisa naik métro untuk pulang hilang sudah dari benak. Waktu sudah nyaris pukul satu, dan kereta di Perancis mana mungkin ngaret! (Di otakku segera terlintas pengalamanku naik TGV, Train à Grande Vitesse: kereta cepat itu tiba pukul 11:59, tepat sesuai jadwal, tak beda satu menitpun!) Di tengah kepanikan ini kami tiba-tiba melihat tanda stasiun metro bertuliskan Porte de Versailles. Asumsiku: stasiun itu pasti dekat dengan Istana Versailles, dan dari situ, rumah Oom dan Tante kami sudah tidak jauh lagi!

Betapa terkejutnya kami saat turun di stasiun tersebut, ternyata kami sekarang berada di selatan, sedangkan apartemen itu adanya di barat Paris. Ternyata Porte de Versailles sangat jauh dari Istana Versailles. Dan setelah tahu bahwa métro yang kami tadi naiki adalah yang terakhir, ketakutan pun mulai menyelinap dalam hati. Lama tertegun di dalam stasiun, kami baru tersadar ketika banyak pengemis dan tunawisma masuk untuk tidur di dalam stasiun. Aku sering sekali mendengar, angka kriminalitas di Paris termasuk yang tertinggi di negeri ini.

Serangkaian doa singkat nan darurat setidaknya bisa membuat kami lebih tenang dan menjernihkan jalan pikiran. Kami berhasil keluar tanpa diganggu, dan akhirnya bisa menemukan kotak telepon umum. Sambil berharap-harap cemas dan tak henti-hentinya berdoa dalam hati, kami menelepon Oom dan Tante kami yang pastinya sedang tertidur pulas.

Puji Tuhan! Telepon itu dijawab: kami seketika dilarang naik taksi (karena harganya bisa mencapai 200-300 Euro atau 2-3 juta rupiah!) dan diminta menunggu di satu tempat umum yang mudah dilihat. Beruntunglah tak jauh dari situ kami melihat Hotel Mercure. Pemandangan ini, tiga orang Asia berbaju lusuh duduk dengan cemas di depan pintu hotel mentereng, tentunya tidak bisa ditemukan setiap hari di Paris. Satu jam kami menunggu, tiap menit rasanya muka kami bertambah berat dengan malu. Tak bosan-bosannya kami bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada Oom dan Tante di sepanjang perjalanan pulang.** (CS)

Sunday, November 27, 2011

Rahasia Pernikahan Seumur Hidup


Resep 1: God as the Foundation of Marriage


Kekuatan sebuah rumah ditentukan dari fondasinya begitu pula halnya dengan pernikahan.

Kalau Anda mengikuti berita terbaru dari Hollywood, maka Anda pasti sudah mendengar berita perceraian Jessica Simpson dan Nick Lachey beberapa bulan yang lalu. Pernikahan yang dianggap begitu ideal (sampai-sampai sempat menjadi tontonan reality show MTV berjudul “Newlyweds”) ternyata keropos fondasi dasarnya.

Fondasi adalah bagian yang tak kelihatan tapi merupakan yang terpenting dalam sebuah pernikahan. Karena itu, resep rahasia pertama yang akan dikupas oleh majalah getLIFE! bekerja sama dengan program radio I DO adalah fondasi pernikahan yang benar. Pernikahan Kristen tidak bisa tidak harus meletakkan Tuhan sebagai dasar. (Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Mazmur 127:1a) Tanpa Tuhan, pernikahan menjadi sia-sia. Arah dan tujuan pernikahan Kristen sudah ditetapkan dalam Firman Tuhan dan hanya ketika Anda taat pada Firman maka akan ada damai sejahtera dalam keluarga Anda.

Apa implikasi menjadikan Tuhan sebagai fondasi pernikahan?

Pertama-tama, pernikahan ini harus dilakukan oleh dua anak Tuhan yang seiman. 1 Petrus 2: 9 berkata: “Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri.” Karenanya, janganlah menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan mereka yang belum di dalam Allah (2 Korintus 6:14). Pernikahan Kristen haruslah berpijak pada kebenaran ini. Lewat pernikahan, Allah hendak membentuk sebuah bangsa yang kudus di mana anak-anak yang dilahirkan kelak akan menjadi rekan Allah dalam menggarap dunia.
 
Kedua, pernikahan yang berfondasikan Tuhan berarti pernikahan yang monogami. Satu istri dan satu suami seumur hidup. Ketika membahas hukum bagi raja Israel, Ulangan 17: 17 mencatat perintah ini: “Juga janganlah ia mempunyai banyak istri, supaya hatinya jangan menyimpang.” Seorang laki-laki Kristen diperintahkan untuk menikmati hidup dengan satu istri saja. Terlepas dari alasan-alasan yang mungkin kedengaran mulia, poligami pada akhirnya selalu menyusahkan. Yakobus 1: 8 dengan tegas mengatakan bahwa orang yang mendua hati tidak akan tenang hidupnya. Tuhan tidak mengijinkan hadirnya pihak ketiga dalam rumah tangga. Hubungan segitiga yang ada dalam pernikahan seharusnya hanya antara suami, istri, dan Tuhan sebagai inisiator pernikahan itu sendiri.

Ketiga, pernikahan itu haruslah merupakan komitmen seumur hidup. 1 Petrus 3: 7 mengatakan bahwa istri adalah “teman pewaris dari kasih karunia” bagi para suami. Tuhan tidak mengenal istilah perceraian dalam kamus-Nya, Ia juga tidak mengenal istilah “pisah rumah”. Pernikahan berarti bersama-sama dalam kasih karunia, bukan sekedar selembar sertifikat yang disimpan di laci sementara dua orang yang namanya tercantum di sana sudah tidak mau lagi bertegur sapa.

Tuhan sebagai fondasi pernikahan juga telah menentukan peran yang spesifik bagi suami dan istri. Suami ditugaskan untuk menjadi kepala (bisa dibaca di Efesus 5: 22-33) sementara istri dipercaya untuk menjadi penolong (Kejadian 2: 18). Sebagai kepala, suami harus mencontoh Kristus dalam arti ia harus berkorban, menjadi pembela dan pelindung, serta menjadi pengarah rohani bagi keluarga. Sebaliknya, istri diharapkan dapat menjadi penolong seperti halnya Allah yang juga memiliki sifat serupa (baca Mazmur 42: 6 dan Yohanes 14: 16).

Hanya dengan melandaskan diri pada Tuhan maka sebuah pernikahan siap bertahan terhadap sebagai badai tantangan. Ini resep pernikahan bahagia yang paling  utama dan pertama. Resep selanjutnya dapat Anda ikuti di getLIFE! nomor depan.**(SL)

Saturday, November 26, 2011

Siapakah Jodohku? (PUISI)


Who's my Soulmate (Siapakah Jodohku)

Kristus, Tuhan, sejauh ini cintaku cuma cinta monyet, senyum-senyum sendiri memandangi si dia punya potret, tetapi tak lama kemudian ia pun ku coret, cinta monyet memang tidak awet....

Kini aku memohon kepada-Mu, Tuhan,
tolong supaya cintaku menjadi dewasa sungguhan,
bukan lagi senang-senang berpacaran,
melainkan mempertimbangkan teman hidup masa depan....

Ukuran bukan lagi wajah yang rupawan
atau rayuan yang menawan,
melainkan apakah dia punya kepribadian
dan bisa cocok seumur hidup sebagai pasangan.....

Belajar memasuki cinta dewasa ternyata susah,
harus bisa tidak menang sendiri dan berat sebelah,
bukan lari dari, melainkan belajar memecahkan masalah
dan mau minta maaf kalau bersalah......

Cinta dewasa berarti jujur terhadap dunia nyata,
masing-masing menampilkan diri tidak pura-pura,
menyimak sifat baik dan sifat buruk yang ada,
lalu menilai apakah tahan bersama dia seterusnya......

Aku harus belajar melihat dua puluh tahun ke depan,
ketika yang perlu bukan lagi pacar yang kasmaran,
melainkan dua insan berumah tangga yang setiawan,
berjiwa tanggung jawab, pengorbanan dan pengabdian.....

Cinta dewasa menuntut aku mawas diri,
apakah kualitas, kepribadian itu ada pada diri sendiri,
apakah aku mampu memberi diri,
bukan cuma minta dilayani melainkan mau melayani......

Cinta monyet mudah, namun cinta dewasa susah,
karena itu aku sering merasa gelisah.
Tolonglah aku mempercayakan diri dan berpasrah
bahwa Tuhan besertaku bertumbuh ke masa cerah......

Dampingilah aku bertumbuh ke kedewasaan,
Matangkan diriku untuk berperilaku kemitraan,
Tolong aku nanti membuat pilihan,
Tolong aku berkembang agar ada yang membuat aku jadi pilihan.....

Aku belum tahu siapa jodohku untuk berpasangan,
tetapi kupercaya bahwa seseorang sudah Kau tentukan,
namun ia masih sedang Kausiapkan,
Kaumatangkan dan Kaudewasakan.....

Sbab itu, pada pengaturan-Mu kupercayakan diri,
Engkau punya maksud indah dengan masa depan setiap pribadi, sehingga pergumulan hidup bukan kami hadapi seorang diri, melainkan bersama Engkau, Kristus, teman hidup sejati......